Komisi III DPR bentuk pokja kejahatan siber antisipasi hoaks Pilkada
Jumat,t9gel hongkong toto911 8 November 2024 16:19 WIB
Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi III DPR RI Abdullah mengatakan bahwa komisinya akan membentuk kelompok kerja (pokja) terkait dengan kejahatan siber untuk mengantisipasi kasus-kasus yang berkaitan dengan siber, salah satunya soal penyebaran berita bohong atau hoaks yang rawan muncul dalam pilkada.
Abdullah mengatakan bahwa Komisi III DPR RI juga mendorong bahwa hoaks bisa dikategorikan sebagai kejahatan siber. Pasalnya, hoaks itu merupakan hal yang berbahaya dan mampu menciptakan polarisasi di tengah masyarakat.
"Polarisasi yang terlalu ekstrem dari isu-isu yang tidak benar, akhirnya terjadi gesekan di masyarakat dan pembelahan lebih tajam," kata Abdullah di kompleks parlemen, Jakarta, Jumat.
Ia mengungkapkan bahwa Komisi III DPR RI juga sudah melaksanakan kunjungan kerja spesifik ke sejumlah kepolisian daerah (polda) untuk mengecek kesiapan dalam mengamankan Pilkada 2024. Selain itu, Komisi III DPR RI juga memastikan agar kepolisian di daerah tetap menjunjung tinggi netralitas.
"Pembentukan pokja khusus itu untuk mengantisipasi info-info hoaks di lapangan," kata dia.
Menurut dia, sejauh ini fenomena hoaks yang kerap muncul tidak hanya terjadi di media sosial saja, seperti Tiktok, Instagram, atau X, tetapi juga bisa menyebar di aplikasi perpesanan, baik di grup percakapan maupun melalui percakapan pribadi.
"Itu 'kan yang paling cepat menyebarnya, teman-teman dari sisi kepolisian yang punya instrumen langsung di bawah, itu sudah kita antisipasi terkait dengan bahaya hoaks di pilkada," kata dia.
Baca juga: Pemantau berpeluang jadi pemohon sengketa hasil pilkada calon tunggal Baca juga: DKPP optimistis pelanggaran KEPP pada pilkada lebih sedikit dari pemilu
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo mengatakan bahwa berita hoaks atau misinformasi di media sosial menjadi ancaman tertinggi dalam Pilkada 2024.
Kapolri mengemukakan bahwa berita hoaks harus menjadi poin penting yang harus diantisipasi karena tidak semua masyarakat bisa membedakan informasi yang benar dan yang bohong.
"Ada satu tambahan yang mungkin juga harus rekan-rekan ikuti terkait dengan potensi kerawanan yang terjadi di media sosial. Kalau kita ikuti, ada 33 miliar interaksi media sosial yang mana 38 persen isinya positif, 23 persen netral, dan 29 persen negatif," kata Listyo, Kamis (7/11).